Minggu, 10 April 2011

Governance

Sejak lebih dari dua dekade terakhir perkembangan ilmu administrasi negara telah sampai pada konsep Good Governance (GG). Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword) yang bisa melewati batas-batas perbicangan dimensional dan sektoral. Batas dimensional adalah ketika kita berhadapan dengan semest perbicangan ekonomi, politik, sosial, bahkan lingkungan hidup. Sedangkan batas sektoral adalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kemiskinan, transportasi, bisnis perusahaan, kelautan, maupun pengendalian polusi. GG telah menjelma seperti hantu yang bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi.
GG sedikit banyak juga telah melakukan revisi total atas term Administrasi Publik yang selama ini telah terlanjur institusionalistik. Governance sudah bukan lagi secara eksklusif yang menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub organsasinya (public sectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai elemen (dipersempit dalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan bisnis) utamanya dalam mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik atau public patrimony. Produk yang paling fenomenal dari GG adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link antara kerja refomasi pemerintahan dengan penanggulangan kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan GG maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar (Renzio, 1997).
Kenyataannya meang tidaklah jauh dari harapan. Inovasi-inovasi seperti Pilkada Langsung, Musrenbang, Penjaringan Aspirasi Masyarakat adalah merupakan hasil (output) dari penerapan GG. Yang dampaknya (outcome) adalah makin eratnya interaksi antara rakyat dengan negara, utamanya adalam distribusi anggaran. Bukti-bukti ini juga dapat kita lihat di belahan dunia lain. Brazil telah sangat terkenal dengan program Orçamento Participativo-nya (Partisipasi Anggaran) di Porto Alegre. Program PARPA di Mozambique yang telah berhasil meningkatkan alokasi pendidikan dan infrastruktur rakyat 20% dalam kurun waktu empat tahun (Samuels, 2008).
Hanya saja prestasi gemilang dari GG tersebut menuai kritik tajam yang berangkat dari identitasnya itu sendiri. Kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik dan seragam. Proses penyeragaman atas sesuatu yang di sebut “good” itu juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebutnya sebagai bagian dari praktik penyesuaian struktural (structural adjustment programs/SAPs).
Sebab kenyataannya diberbagai belahan dunia GG adalah program yang diintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional, seperti WB, IMF, ADB, UNDP, EU dll. Indikator akan sesuatu yang disebut “good” itu juga dibawa jauh dari Amerika Serikat atau Eropa untuk kemudian dipakai untuk mengukur berbagai praktik di negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Selatan/Karibia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka. Term ‘good’ dalam GG adalah westernized  dan diabsolutkan sedemikian rupa sehingga terkadang mendekati ‘god’.
Kritik berikutnya terhadap GG adalah kegagalannya dalam memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam GG seolah-olah kehidupan hanya berkuatat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. WTO, perusahaan multi nasional, UN, dan lembaga-lembaga donor secara nyata telah hadir dalam setiap relung kehidupan bernegara dan bermasyarakat di negara-negara berkebang, termasuk Indonesia. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana kehadiran aktor-aktor ini sampai ke pelosok desa-desa. Program-program World Bank misalnya, telah merasuki alam pikir dan nilai-nilai masyarakat hingga ditingkatan desa, bahkan komunitas.
Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variable-variable yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat hegemoni terma ‘good’ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Ruang kosong inilah yang coba di isi oleh sebuah paradigma baru yang disebut Sound Governance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar